Selasa, 02 Juli 2019

Sebuah Obrolan Bersama Gadis Kecil


 Ada seorang gadis berusia 13 tahun, baru-baru ini dia sering mengajakku untuk berbicara. Rambutnya yang ikal pendek sebahu dan senyum polosnya selalu menyapa saat diri ini sedang gundah gulana. Malam ini ketika hujan jatuh memeluk bumi, dia berkata “Kau tau tidak. Kadang aku hanya rindu omelan ibuku ketika aku lupa menaruh handuk basah di kasur.” Aku tersenyum dan menatapnya. Dasar anak kecil, pikirku.
“Bukankah omelan itu menyebalkan?” tanyaku pada gadis itu. Dia kemudian terdiam dan menatap langit malam berharap menemukan setitik bintang. Kemudian dia menggelengkan kepalanya dan berkata “Terkadang ketika aku melihat seorang ibu bersama anaknya, aku berusaha mengingat ketika dulu ibuku masih ada.”
“Lalu kau berhasil mengingatnya?”
“Aku lupa, jika ingat mungkin aku tidak akan sesedih ini.” Katanya dengan sendu.
“Akan jauh lebih baik jika kau lupa, kau tidak akan bersedih lagi.” Kataku kemudian, yang hanya memperburuk suasana hatinya. Aku memperhatikan mata gadis itu yang tak lepas menatap langit.
“Aku takut.” Suaranya memecahkan keheningan malam. Hujan turun semakin deras diikuti suara guntur.

“Apa yang kau takutkan?”
“Aku takut bahwa aku tidak sedang merindukan ibuku. Tapi merindukan kasih sayangnya saja.”
“Mengapa begitu?” Tanyaku lagi.
“Aku tidak mengenalnya.”
“Kau kehilangan ibumu diusia 13 tahun dan tidak mengenalnya?”
Gadis itu hanya menatapku. Tatapan yang seakan menusuk tepat di dadaku.
“Memangnya kau mengenalnya diusia seperempat abad ini?” pertanyaan yang hanya membuatku terdiam. Dan berpikir.
“Kau hanya mengira dirimu telah mengenalnya. Padahal tidak.” Kata gadis itu lagi, kemudian kembali menatap langit yang tak berbintang.
“Kau tau tidak. Terkadang aku hanya rindu memakan masakan yang dibuat ibuku. Aku rindu belaian tangannya. Aku rindu kecupan bibirnya di pipiku.” Gadis itu mulai mmeracau lagi. Aku menarik nafas panjang dan berusaha menjadi pendengar.
“Kau hanya perlu mengingat ketika ibumu melakukan hal-hal itu, kan?” kali ini aku juga ikut memandangi langit.
“Aku lupa ibuku pernah melakukannya.” Jawabnya, mengingat bahwa dia tengah merindukan sesuatu yang sepertinya tidak pernah dia terima.
“Yang benar saja, dia tidak pernah melakukannya untukmu?” gadis itu mendekatkan kepalanya kepadaku dan menatapku dengan mata yang berair. “Aku lupa.” Katanya.
“Ibuku sakit, dia tidak bisa melakukan banyak hal. Aku hanya ingat bagaimana ketika dia marah ketika aku lupa mengerjakan PR matematika, atau ketika aku malas menyapu rumah di sore hari. Aku juga ingat pernah kabur dari rumah ketika seharusnya aku tidur siang karena main ke rumah teman. Ibuku memarahiku. Kau tau, aku rindu omelannya.” Hujan semakin deras dan gadis itu tidak bisa pulang.
“Bukankah seharusnya kau mudah melupakannya? Jika tidak ada kenangan baik yang bisa diingat?”
“Tetap saja, aku merindukannya.”
“Mengapa?”
“Aku rasa karena aku hanyalah seorang anak kecil.”
“Tapi kau sudah 13 tahun, kau itu sudah remaja.” Tegurku.
“Aku ingin tau ekspresi ibuku ketika aku mendapatkan menstruasi pertamaku. Aku ingin sekali dia mengajariku memakai pembalut. Ketika aku mendapat handphone baru di kelas 9, aku ingin ibuku menelepon ketika aku terlambat pulang ke rumah. Aku ingin ibuku menghiburku ketika aku jatuh dari sepeda motor di hari pertama aku masuk SMA. Aku ingin tau bagaimana pendapatnya tentang pacar pertamaku. Aku ingin menanyakan pendapatnya untuk memilih baju dan aksesoris yang sepadan waktu aku hendak pergi keluar. Kau tau, bahkan aku rindu melihat bagaimana wajah ibuku ketika kelak akhirnya aku akan diberkati dengan seseorang yang akan menjadi suamiku. Bahwa aku sudah dewasa sekarang. Aku sudah melewati ribuan hari tanpanya dan menjadi seorang pemberani.” Gadis itu menatapku yang telah meneteskan banyak air mata.
“Kau seharusnya melakukan itu dari dulu.” Katanya lagi.
“Apa?” aku menyeka air mataku.
“Mengakui semuanya, bahwa aku adalah dirimu.”
Aku terdiam dan menatapnya. Mengingat-ngingat setiap inci wajahnya. Dia tersenyum ketika aku mulai menatapnya dengan berbeda dari sebelumnya.
“Ya, kita akan melalui ini semua bersama-sama. Kau tidak perlu takut mengakuiku.”
“Tapi, jika kau adalah diriku di usia 13 tahun, mengapa kau menjadi begitu dewasa?”  
“Itu semua karena dirimu. Akhir-akhir ini kau mulai mengajakku berbicara dan mau mengakui keberadaanku. Aku merasa lebih percaya diri bahwa semuanya baik-baik saja di sini. Aku merasa….aman.” tangan mungilnya menyentuh tanganku. “Tidak apa-apa jika aku ada. Aku akan menyimpan semua kenangan dan perasaan itu, lalu berjalan bersamamu.”
Aku menghela nafasku dan memeluknya. “Aku merasa jauh lebih baik ketika kau ada bersamaku.”  
Malam semakin larut dan hujan pun mulai reda. Seorang gadis sedang berusaha memahami dirinya. Tidak ada yang bisa menjamin semua akan baik-baik saja, tapi ini akan jauh lebih ringan dari sebelumnya. Bersama gadis kecil yang telah dia terima.

1 komentar:

Ada saran atau kesan? Senang bisa berbagi pikiran :)

 
Share on :