Minggu, 19 Agustus 2018

1 Tahun Menjalani Panggilan Tuhan: Aku Pasti Sudah Gila!


“Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaku…”
Sudah 2 tahun lamanya ketika aku pertama kali mengetahui panggilan Tuhan dalam hidupku dan semenjak tulisan ini dibuat sudah 1 tahun 3 bulan aku menjalaninya. Masih  tidak percaya atau tidak terima, terkadang masih sulit membedakannya. Bulan Agustus adalah bulan yang mengingatkanku akan penyangkalan diri terbesar dalam hidupku. Ya, jika saja cawan ini boleh lalu. Jika saja aku boleh memilih. Namun disinilah aku dalam suatu kesempatan dapat bertemu dengan ratusan orang yang melayani dibidang yang sama: pemuridan. Aku adalah satu dari ratusan staf sebuah yayasan Kristen yang melayani siswa dan mahasiswa di kota-kota besar di Indonesia.
Aku rasa aku sudah jatuh cinta. Aku telah jatuh cinta dengan pelayanan ini, dengan siswa-siswa yang hidupnya kacau balau ini, aku jatuh cinta dengan Allah yang terus menyatakan kasih-Nya kepada jiwa-jiwa yang aku temui. Aku jatuh cinta terhadap cara Tuhan yang mau memakai manusia sepertiku menjadi alat-Nya. Lalu kemudian aku berpikir, sepertinya aku sudah gila. Aku gila karena meninggalkan kesempatan untuk bekerja dibidang yang sesuai dengan jurusanku, hidup jauh dari meriah dan gemerlapnya ibu kota, dipandang remeh oleh orang-orang terdekat yang tidak memiliki misi yang sama. Aku pasti sudah ‘gila’.

Tuhan memakai orang-orang yang rela dianggap gila oleh dunia untuk menjadi alat-Nya.
Ada satu titik dimana aku takut kehilangan kewarasanku. Dalam artian, aku takut menyerahkan seluruh hidupku kepada rencana-Nya yang seringkali bagi otak manusia ini tidak masuk akal. Lalu aku teringat akan kisah Nuh saat dia diperintahkan oleh Allah untuk membuat bahtera (Kejadian 6-7) bagaimana dia tetap taat meski bisa dibayangkan, gunjingan yang dia dapat dari umat manusia kala itu. Aku juga teringat ketika Petrus dan saudara-saudaranya meninggalkan perahu mereka yang penuh dengan ikan untuk mengikut Yesus (Lukas 5:1-11), mereka pasti dianggap sudah ‘gila’ saat itu karena

Kamis, 03 Mei 2018

Gereja dan Bangku Kosong Paling Belakang

Photo by Keagan Henman, www.unsplash.com

Ada riuh yang tak bisa aku raih. Alunan musik atau ego yang sedang diimprovisasi. Lidahku kelu. Setelah tepuk tangan kau turun panggung dengan mengangkat dagu. Tak ada tatapan mata untukku. Aku adalah jeda dari keramaian. Sebisa mungkin harus ditiadakan.

Setiap acara demi acara kau bilang ini untuk jiwa-jiwa. Aku disudut bangku gereja yang paling belakang tempat yang tidak diraih bahkan oleh cahaya lampu temaram. Dengan sepatu kulit yang mulai mengelupas sedang kau membahas merek tas yang lidahku tak mampu mengejanya. Aku beranjak. Kau tak pernah tau bahwa aku pernah ada.

Rabu, 02 Mei 2018

Fenomena #Temantapimenikah dan Nilai-nilai Iman Kristen

Photo from www.layar.id

Setelah film Dilan, film yang saat ini sedang hangat diperbincangkan adalah film Teman tapi Menikah. Film yang diangkat dari kisah nyata artis Ayudia Bing Slamet dan sahabatnya Ditto ini berhasil membuat banyak orang yang menonton baper. Selain itu, pemeran utama dalam film ini adalah Vanesha Prescilla seorang artis pendatang baru yang sebelumnya berperan sebagai Milea di film Dilan. Ada pro-kontra yang disampaikan oleh netizen di sosial media terkait dengan siapa visual couple terbaik, Iqball & Vanesha atau Adipati & Vanesha. Namun tentu saja tulisan ini tidak sedang ingin membahas hal itu, melainkan tentang apakah fenomena #TemantapiMenikah ini selaras dengan nilai-nilai Kristiani.

Gary Thomas seorang penulis dan pembicara Kristen dalam bukunya The Sacred Search mengatakan bahwa persahabatan adalah jantung relasional yang memompa darah dalam pernikahan. Dan, meskipun orang seringkali tertarik satu sama lain karena chemistry seksual, pasangan suami istri sebenarnya menghabiskan waktu menjadi seorang sahabat 95% lebih banyak daripada menjadi seorang pasangan seksual. Hal ini dikarenakan chemistry seksual naik turun dengan liar dan tak teratur dari pada persahabatan relasional, yang biasanya bertumbuh semakin mendalam seiring berjalannya waktu.

Kamis, 15 Maret 2018

Tips untuk Pemimpin Kelompok Kecil

Kelompok kecil (KTB, komsel, CG dan istilah lainnya) biasanya ada di beberapa gereja yang menekankan nilai pemuridan. Ada juga beberapa organisasi Kristen yang berfokus pada pemuridan di kelompok kecil, seperti yang saat ini aku tekuni yakni Perkantas. Apa itu Perkantas? Bisa cek disini.

Jika Tuhan Yesus saja memiliki 12 murid dan kadang hanya 3 murid saja yang sering diajak kemana-mana, ini menunjukkan bahwa di dalam kekristenan, adanya kelompok kecil itu sangat penting. Kelompok ini biasanya terdiri dari 7-3 anggota dan satu orang pemimpin. Apa yang dilakukan di kelompok kecil? Tentu saja tidak hanya sekedar bermain games seru, nonton bareng, dan hang out. Tapi lebih dari pada itu, kelompok kecil adalah tempat dimana kita bisa berbagi kisah hidup, mendapat teguran, semangat dan yang terpenting: mempelajari firman Tuhan bersama.

Sebenarnya aku bukan orang yang hebat dalam memimpin kelompok kecil sehingga berani menulis tips ini. Namun aku sedikit tau jika aku menjadi seorang anggota kelompok kecil, seorang pemimpin seperti apa yang aku butuhkan. Jadi sebenarnya tulisan ini berasal dari pengalamanku yang bergabung di KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) sejak 2013 hingga saat ini ketika aku mulai memimpin beberapa kelompok.

Langsung saja, 5 tips yang bisa dilakukan jika kita sedang memimpin suatu kelompok kecil:

Menjadi pendengar yang baik
Ada beberapa orang yang sangat kesulitan menjadi pendengar yang baik, aku mengakui bahwa aku adalah orang yang dulunya suka sekali memotong pembicaraan orang. Sebagai seorang sanguinis aku sangat ingin mengambil alih suasana. Seorang pemimpin yang baik adalah seorang pendengar yang baik karena dengan mendengarlah kita bisa mengerti dan masuk ke dalam dunia orang lain. Hal ini perlu dilatih, dengan terus mengingat bahwa kisah orang lain itu penting.

Rabu, 03 Januari 2018

Bagaimana Orang yang Tepat Seharusnya?

image from www.unsplash.com

Bagaimana sih definisi yang tepat untuk menjelaskan tentang ‘orang yang tepat’ itu?
Apakah orang yang membawa kita semakin dekat dengan Tuhan?

Tapi bukannya untuk dekat dengan Tuhan itu sebenarnya adalah tanggung jawab kita masing-masing? ‘Orang yang tepat’ bukan berperan sebagai orang tua rohani kita. Bukan. Karena jika begitu, pasti akan ada yang berperan menjadi anak-anak. Dan seperti yang kita tau, anak-anak akan tumbuh dewasa dan meninggalkan orang tuanya. Tidak dengan pasangan hidup. Pasangan hidup bukan orang tua kita.
Aku setuju jika orang yang tepat adalah orang yang mau diajak bersama-sama bertumbuh ke arah Tuhan, selama hidupnya.

Bayangkan seseorang yang akan selalu bersamamu. Seseorang yang masakannya akan selalu kamu nikmati. Seseorang yang bau keringatnya akan selalu kamu hirup. Seseorang yang akan kamu lihat dimana pun disekitar rumah. Seseorang yang akan membesarkan anak-anak bersamamu. Seseorang yang bersamanya kamu akan menua dan tinggal bersama meskipun tidak ada lagi romantisme dan bunga-bunga asmara!