Kamis, 03 Mei 2018

Gereja dan Bangku Kosong Paling Belakang

Photo by Keagan Henman, www.unsplash.com

Ada riuh yang tak bisa aku raih. Alunan musik atau ego yang sedang diimprovisasi. Lidahku kelu. Setelah tepuk tangan kau turun panggung dengan mengangkat dagu. Tak ada tatapan mata untukku. Aku adalah jeda dari keramaian. Sebisa mungkin harus ditiadakan.

Setiap acara demi acara kau bilang ini untuk jiwa-jiwa. Aku disudut bangku gereja yang paling belakang tempat yang tidak diraih bahkan oleh cahaya lampu temaram. Dengan sepatu kulit yang mulai mengelupas sedang kau membahas merek tas yang lidahku tak mampu mengejanya. Aku beranjak. Kau tak pernah tau bahwa aku pernah ada.



Aku ingin melihat kasih yang sering kali kau dendangkan atau citra yang katanya serupa dengan Tuhan. Sesuatu yang kau sebut berkat itu aku tidak berani untuk sekedar memikirkannya. Jangankan bernyanyi untuk bernafas saja aku terbata-bata. Kau sibuk mengelompokkan mereka menurut bakat. Sedang aku untuk ada dihari itu saja merupakan suatu mukjizat.

Aku sekarat dengan obat-obatan dan bayang-bayang ibuku di rumah yang babak belur karena dipukul bapak. Kau dengan banyaknya acaramu dan tidak menyadari ada bangku yang telah lama kosong di paling belakang.

1 komentar:

Ada saran atau kesan? Senang bisa berbagi pikiran :)

 
Share on :