Photo from www.layar.id |
Setelah film Dilan, film yang saat ini sedang hangat diperbincangkan adalah film Teman tapi Menikah. Film yang diangkat dari kisah nyata artis Ayudia Bing Slamet dan sahabatnya Ditto ini berhasil membuat banyak orang yang menonton baper. Selain itu, pemeran utama dalam film ini adalah Vanesha Prescilla seorang artis pendatang baru yang sebelumnya berperan sebagai Milea di film Dilan. Ada pro-kontra yang disampaikan oleh netizen di sosial media terkait dengan siapa visual couple terbaik, Iqball & Vanesha atau Adipati & Vanesha. Namun tentu saja tulisan ini tidak sedang ingin membahas hal itu, melainkan tentang apakah fenomena #TemantapiMenikah ini selaras dengan nilai-nilai Kristiani.
Gary Thomas seorang penulis dan pembicara Kristen dalam bukunya The Sacred Search mengatakan bahwa persahabatan adalah jantung relasional yang memompa darah dalam pernikahan. Dan, meskipun orang seringkali tertarik satu sama lain karena chemistry seksual, pasangan suami istri sebenarnya menghabiskan waktu menjadi seorang sahabat 95% lebih banyak daripada menjadi seorang pasangan seksual. Hal ini dikarenakan chemistry seksual naik turun dengan liar dan tak teratur dari pada persahabatan relasional, yang biasanya bertumbuh semakin mendalam seiring berjalannya waktu.
photo from www.unsplash.com |
Lebih mendalam lagi dijelaskan oleh Dr. Hendry Cloud dan Dr. John Townsend, seorang psikolog dan konsultan dibidang hubungan. Dalam buku Boundaries in Dating yang mereka tulis dikatakan bahwa sebuah relasi yang sejati dan kekal harus didasarkan pada pertemanan terlebih dahulu. Percintaan yang romantis dan daya tarik seksual merupakan hal yang luar biasa, tetapi ini kuncinya: Jika semua hal itu tidak dibangun di atas pertemanan yang kekal maka ada sesuatu yang salah. Karena perasaan romantis dapat bersifat sangat menipu dan bahkan merusak, itu bukan “cinta sejati”.
Cloud dan Townsend juga menjelaskan secara berulang-ulang untuk memiliki batasan yang jelas secara fisik dan emosional sebelum masuk ke dalam hubungan yang romantis. Tidak terburu-buru untuk jatuh cinta kepada seseorang yang kita belum menjadi teman terlebih dahulu itu adalah sesuatu yang bijak. Hal itu akan membuat kita lebih yakin ketika mempertimbangkan seseorang yang dengannya kita akan hidup bersama hingga tua. Hubungan pertemanan memampukan kita melihat apakah orang tersebut adalah orang yang dengannya kita ingin menghabiskan waktu bersama meskipun tidak ada cinta romantis sama sekali. Itulah ukuran cinta sejati dari seorang teman, seorang yang dengannya kita ingin menghabiskan waktu bersama, tanpa memedulikan bagaimana kita menghabiskan waktu itu.
Maka dari itu, habiskankah waktu dengan seseorang meskipun bukan dengan cara-cara yang romantis. Habiskan waktu dengan orang itu dalam suatu kelompok, bagaimana dia memperlakukan teman-temannya? Apakah dia cocok dengan teman-temannya? Apakah dia bahkan memiliki teman? Jika seseorang tidak memiliki hubungan pertemanan yang telah lama akrab, maka itu sebuah tanda yang buruk (Cloud & Towsend, 2000).
Berdasarkan dari penjelasan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa fenomena #TemantapiMenikah adalah hal yang baik dan selaras dengan nilai-nilai Kristiani. Kita dapat menjadi tergila-gila dan memiliki gairah yang sangat besar terhadap seseorang yang menarik secara fisik, tentu itu hal yang baik. Namun dalam memilih pasangan hidup keintiman relasi, nilai-nilai yang sama dan kualitas karakter merupakan dasar yang kokoh untuk hubungan pernikahan yang bahagia. Hal-hal tersebut dapat dipertimbangkan melalui suatu hubungan pertemanan terlebih dahulu.
Mungkin, setelah membaca tulisan ini kamu akan berpikir siapa teman yang bisa diajak nikah? Nah loh. Atau justru kamu mau perlahan-lahan menjalin hubungan pertemanan dengan seseorang yang kamu sukai? Seorang teman yang bersamanya dirimu bisa mencari terlebih dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya bersama-sama (Matius 6:33).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada saran atau kesan? Senang bisa berbagi pikiran :)