“Ya Bapaku, jikalau sekiranya
mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaku…”
Sudah 2 tahun lamanya ketika aku pertama kali mengetahui panggilan Tuhan
dalam hidupku dan semenjak tulisan ini dibuat sudah 1 tahun 3 bulan aku menjalaninya. Masih tidak percaya atau
tidak terima, terkadang masih sulit membedakannya. Bulan Agustus adalah bulan
yang mengingatkanku akan penyangkalan diri terbesar dalam hidupku. Ya, jika
saja cawan ini boleh lalu. Jika saja aku boleh memilih. Namun disinilah aku
dalam suatu kesempatan dapat bertemu dengan ratusan orang yang melayani
dibidang yang sama: pemuridan. Aku adalah satu dari ratusan staf sebuah yayasan
Kristen yang melayani siswa dan mahasiswa di kota-kota besar di Indonesia.
Aku rasa aku sudah jatuh cinta. Aku telah jatuh cinta dengan pelayanan
ini, dengan siswa-siswa yang hidupnya kacau balau ini, aku jatuh cinta dengan
Allah yang terus menyatakan kasih-Nya kepada jiwa-jiwa yang aku temui. Aku
jatuh cinta terhadap cara Tuhan yang mau memakai manusia sepertiku menjadi
alat-Nya. Lalu kemudian aku berpikir, sepertinya aku sudah gila. Aku gila
karena meninggalkan kesempatan untuk bekerja dibidang yang sesuai dengan
jurusanku, hidup jauh dari meriah dan gemerlapnya ibu kota, dipandang remeh
oleh orang-orang terdekat yang tidak memiliki misi yang sama. Aku pasti sudah
‘gila’.
Tuhan memakai orang-orang yang
rela dianggap gila oleh dunia untuk menjadi alat-Nya.
Ada satu titik dimana aku takut kehilangan kewarasanku. Dalam artian, aku
takut menyerahkan seluruh hidupku kepada rencana-Nya yang seringkali bagi otak
manusia ini tidak masuk akal. Lalu aku teringat akan kisah Nuh saat dia
diperintahkan oleh Allah untuk membuat bahtera (Kejadian 6-7) bagaimana dia
tetap taat meski bisa dibayangkan, gunjingan yang dia dapat dari umat manusia
kala itu. Aku juga teringat ketika Petrus dan saudara-saudaranya meninggalkan
perahu mereka yang penuh dengan ikan untuk mengikut Yesus (Lukas 5:1-11),
mereka pasti dianggap sudah ‘gila’ saat itu karena